Senin, Agustus 27, 2007

Mereka saja cinta Indonesia, mengapa kita tidak?

Ketika asik memindah – mindah chennel tv (ya ini adalah kebiasaan saya ketika acara yang saya sukai sedang diselingi iklan, saya langsung pindah ke channel lain untuk lihat – lihat acara lain yang bagus, pantas saja baterai remot tv cepat habis…he7x), berhentilah saya di channel nomor 9, yaitu Metro TV yang sedang mengiklankan Kick Andy. Apa yang menarik? Ada beberapa bule yang dihadirkan di acara itu. Wahh, rasa penasaran dan ingin tahu sontak keluar.
Akhirnya saya bisa nonton Kick Andy hari minggu siaran ulangnya. Yup, ada banyak bule yang hadir di acara tersebut. Ternyata edisi Kick Andy saat itu menampilkan bule – bule yang cinta Indonesia! Ada bule Australia yang jadi dalang dan dapat gelar dari Keraton Solo, Penari Jawa dari Jepang di Keraton Solo, bule – bule lain di bidang lain, dan yang sekarang jadi artis yaitu Wahyu Suparno Putro. Kesan pertama saya adalah: KEREN ABIS! Tak habis pikir total! Mereka dari negara – negara yang jauh lebih baik (secara kemajuan dan kemakmuran) dari Indonesia. Tapi mengapa mereka bisa sangat ingin menjadi WNI dan cinta Indonesia?
Secara umum, mereka jatuh cinta pada kebudayaan Indonesia, dan suasana hidup di Indonesia yang menurut mereka menyenangkan dan nyaman. Mereka suka orang – orang Indonesia yang ramah, religius dan mempunyai rasa kekeluargaan yang tinggi.
Saya masih ingat cerita Wahyu Suparno Putro, yang menjadi yatim piatu sejak tahun 80-an. Kala itu dia dari Australia berniat ke Indonesia untuk keperluan perkuliahannya pada tahun 90-an. Kemudian ia kembali ke Australia, dan kembali lagi ke Indonesia pada tahun 97-98-an. Dia sangat suka dan cinta dengan Indonesia, akhirnya dia memutuskan untuk menjadi seorang WNI. Dia bekerja di Indonesia, dan memiliki orang tua angkat disini. Memang yang ceritakan ini kurang menyentuh, tapi, ketika anda menonton sendiri Kick Andy waktu itu, anda akan terharu dan berbangga, jiwa Nasionalisme anda sekejap menghapuskan segala kepenatan terhadap masalah – masalah yang ada di Indonesia.

Lulusan informatika kurang berkompeten?

Beberapa waktu yang lalu saya melihat program e-Lifestyle yang ditayangkan oleh Metro TV. Topiknya saat itu sangat menarik untuk sayam yaitu Lulusan Jurusan Informatika Kurang Kompeten? Mengejutkan untuk saya, karena saya berniat untuk melanjutkan studi perkuliahan saya di bidang tersebut, entah Teknik Informatika, IlKom, Teknik Komputer, atau Sistem Informatika.
Alasan utama mengapa lulusan informatika kurang berkompeten yang dikemukakan di acara tersebut adalah sistem pendidikan dan pengajaran yang masih kurang baik. Tapi apa benar hanya karena sistem pendidikannya saja?
Berbagai argumen tentang hal tersebut dikemukakan (maaf saya lupa siapa nama narasumbernya…he3x J). Tapi argumen yang paling saya ingat adalah:
1. Banyak ilmu yang kita pelajari ketika kuliah yang sama sekali tidak terpakai atau bermanfaat saat kita bekerja nanti
Comment: Pendapat ini memang tidak sepenuhnya salah, tapi saya juga masih kurang setuju dengan pendapat ini. Mengapa? Karena kita lihat seberapa banyak perusahaan atau instansi di Indonesia yang sudah mengandalkan IT untuk efektifitas kerja mereka? Ilmu yang kita pelajari di universitas mereka katakan tidak terpakai bahkan sama sekali tidak berguna karena umumnya pekerjaan – pekerjaan di bidang IT di Indonesia masih dalam taraf general atau umum. Adapun pekerjaan yang menuntut tingkat advance atau high skill level jumlahnya masih sangat sedikit. Coba kalau seperti Amerika Serikat, atau negara maju lainnya yang sudah berdiri banyak sekali sehingga banyak dibutuhkan tenaga IT yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menjalankan perusahaan sekelas Google Inc. atau Microsoft Corp. Dan sebenarnya argumen di atas hanya masalah waktu saja, semakin lama, semakin banyak dibutuhkan tenaga IT di Indonesia seiring dengan tumbuhnya perusahaan - perusahaan di bidang IT yang berkemampuan tingkat tinggi yang berarti tidak ada ilmu di saat kuliah yang tidak berguna.
2. Para pemilik perusahaan lebih memilih lulusan dengan skill yang baik, entah itu mereka menguasai IT karena hobi, atau hanya kursus saja, dibandingkan lulusan dengan IP bagus, universitas terpandang tapi skillnya kurang bisa diandalkan.
Comment: Saya setuju dengan pendapat ini. Kita tidak sepenuhnya bisa menentukan kemampuan seseorang dari melihat fakta tertulis, tapi kita lebih mudah melihat atau mengukur kemampuan seseorang melalui prakteknya. Saya sendiri secara pribadi memang hobi untuk berkutat di bidang IT dan setelah lulus kuliah nanti saya ingin totalitas di bidang IT.

Senin, Agustus 20, 2007

TKI, riwayatmu kini…

Malang sekali nasib TKI kita di luar negeri sana. Sudah banyak sekali tenaga kerja kita yang berangkat dengan raga dan jiwa, namun pulang – pulang tinggal raganya saja. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami siksaan dan dijadikan budak oleh majikannya. Alih – alih mau cari uang yang lebih banyak, eh, malah dapat siksaan yang tak manusiawi.
Mereka ke luar negeri pasti dan sangat pasti karena satu alasan. Yaitu, tak ada lapangan pekerjaan di sini. Dan itu adalah alasan mutlak, tidak dapat ditawar. Coba jika Pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan yang banyak, mereka tidak akan sampai lari mencari pekerjaan sampai ke negeri orang sebagi seorang “pekerja kasar”. Ironi memang, Pemerintah sepertinya bangga ketika kita mengekspor pekerja – pekerja ke luar negeri, yang memang betul menghasilkan devisa yang cukup besar. Tapi, mereka para pekerja itu, sepertinya tidak dilindungi secara tegas dan total sebagai seorang WNI oleh Pemerintah.
Umumnya, para TKI adalah orang – orang yang kurang mendapatkan akses pendidikan yang memadai, sekaligus skill atau kemampuan khusus yang tidak memadai. Mereka sangat berharap sekali bahwa mendapat pekerjaan di Negara yang lebih maju dari Indonesia akan mendapat uang yang lebih.
Tapi, marilah kita ubah paradigma cara berpikir orang – orang seperti itu. Jalan pikiran itu adalah jalan pikiran yang sepertinya putus asa, dan menyatakan bahwa di Indonesia ini sama sekali tidak ada pekerjaan yang lebih baik. Juga karena sifat orang yang malas untuk memulai dan takut akan kerugian. Memang, untuk menjadi seorang yang berhasil itu, (kalau untuk saya) bukan dimulai dari nol, tapi dari minus! Butuh pengorbanan.
Namun, mengapa kita tidak mencoba untuk menjadi seorang wiraswasta yang mandiri?
Saudara TKI kita pasti bertanya – tanya, “Boro – boro wiraswasta, jangan mimpi deh, saya tidak punya ketrampilan dan dari mana saya mendapatkan modal untuk membangun usaha saya sendiri?” Ya, pertanyaan itu pasti muncul, tapi daripada berjuta – juta uang yang anda keluarkan jika menjadi TKI, alihkan uang itu untuk membeli modal usaha anda, sekaligus mengikuti pelatihan – pelatihan ketrampilan yang sebenarnya sangat banyak dan beragam.
Percayalah, seandainya kita mau berusaha, kita akan menjadi orang sukses di negeri sendiri.

Internet gratis? Ga percaya..

Banyak sekali artikel artikel (baik yang cetho atau ga cetho) yang membahas tentang internet gratis situs – situs internet. Coba saja googling lewat google di samping. Dari yang jualan infonya, sampai trik – triknya.
Hampir semua trik internet gratis yang ada, dibagi menjadi 2 jenis berdasar cara mendapatkannya. Pertama, internet gratis karena kebetulan atau bejan saja, kemudian, kedua, memang ada cara khusus untuk mengakses internet gratis yang disebarkan oleh “orang dalam” ISP atau suatu operator.
Mulai dari GPRS gratis, data akses CDMA gratis, atau WiFi yang bocor, semuanya ada. Tapi, seheboh atau sehebat trik itu, percayalah saya, bahwa 99,99999% dari internet gratis itu adalah faktor keberuntungan belaka. Hampir tidak ada satu carapun yang membuktikan bahwa internet gratis bisa dicari.
Saya berani berpendapat seperti itu, karena saya sudah mengalami sendiri, saya suatu saat memang iseng – iseng cari artikel tentang internet gratis, dan juga sekalian mencoba trik – trik yang ditawarkan. Sebelum mengetahui berhasil atau tidaknya trik tersebut, saya selalu berasumsi bahwa sukses atau tidaknya trik ini, akan saya gunakan sebagai bahan pengalaman dan pengetahuan lebih lanjut tentang networking, dan internet.
Tapi, ternyata yang saya dapat adalah nothing! Tidak ada satupun trik yang berhasil dijalankan. Padahal step by stepnya sama persis saya lakukan dan tak ada satupun yang berbeda.
Jadi, lewat tulisan ini, saya menyerukan bahwa tidak ada di Indonesia ini yang namanya internet gratis. Total! Tidak ada kompromi. Mau internet? Ke warnet aja, wis nggenah murah, cepet, ra sah kakean cing cong!

Senin, Agustus 13, 2007

Murah tanpa syarat? Ga salah?

Operator mana yang anda gunakan? Telkomsel, Indosat, XL, 3, Telkom Flexi, StarOne, Esia, atau Fren? Mengapa anda memilih menggunakan layanan operator tersebut? Murah, kualitas, atau sinyal?
Pasti banyak yang setuju bahwa faktor murah suatu operator bisa dijadikan patokan. Tapi murah yang bagaimana yang ditawarkan? Nyaris semua operator pasti mengutamakan tarif yang kompetitif agar calon konsumen tertarik. Mereka menggunakan jurus – jurus iklan yang sangat cerdik (dan kadang – kadang licik dan sedikit menipu) untuk menggaet orang setidaknya mencoba layanan mereka. Namun ketika orang sudah memakai layanan operator tersebut, mereka kecewa, karena ternyata apa yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan harapan mereka dan janji – janji operator di iklan.
Memang, biasanya operator melakukan iklan dengan tawaran – tawaran layanan yang "gila" dan ekstrim tanpa memberitahu syarat dan ketentuan layanan tersebut. Kalaupun ada di iklan, pasti dan yakin seyakinnya bahwa syarat dan ketentuan tersebut hampir tak terlacak oleh mata dan tersembunyi.
Syarat seperti: murah sesama operator, mulai detik ke 120, menit ke 5, jam 23.00-07.00, hari sabtu – minggu, daftar hemat ber10, paket perbulan, harus inilah, harus itulah, sama sekali hampir tak disebutkan operator. Dari semua operator yang ada di Indonesia, semuanya menawarkan tarif ekstrem menggunakan syarat. Jadi jika anda mencari murah tanpa syarat, tidak mungkin ada, itu sudah aturan bisnis, mereka juga mencari keuntungan sebesar – besarnya. Jadi, layanan yang benar – benar murah langka sekali. Apalagi di Indonesia.
Dan celakanya lagi, ada saja operator yang menawarkan murah dengan "syarat tak resmi" pelayanan yang super buruk dan menjengkelkan….:(

Internet Murah, Kapan? (Kapan – kapan)

Jujur saja, saya mengupload posting – posting baru diblog ini dari selalu dari warnet. Memang sih, saya pergi ke warnet hanya kalau perlu saja. Karena saya rasa tarif internet di Indonesia masih mahal. Setidaknya ke warnet 6 kali sebulan untuk mengelola blog, update anti virus, nggagas Friendster (saya punya lho!atmadia@yahoo.com), cari informasi, berita terbaru di dunia TI, atau hanya sekedar mencari informasi tentang My Chemical Romance.
Budget yang saya habiskan untuk ngenet ria bisa dibilang tidak banyak. Rata – rata sebulan 6 jam x Rp 3500,- = Rp 21.000,-. Untuk saya, 6 jam itu sudah cukup membantu dan cukup murah.
Tapi, esensi mahal disini ketika kita menggunakan sambungan internet tunggal dari rumah maupun yang bersifat mobile. Contoh dial up, salah satu ISP beberapa waktu lalu mengumbar tarif dial up murah Rp100/menit. Dengan speed yang "seperti gerobak dorong", mereka masih berani menjual dengan harga Rp 6000.-/jam, apa dompet kita nanti ngga jebol? Itu saja tarif promosi, nah kalau nanti tarifnya normal, piye? Atau kalaupun ada yang cepat, tetap pasti tidak bisa nyaman berinternet, ADSL, 1 bulan 200 ribu, tapi kuotanya dibatasi, nah, kalau surfing atau download, ngga bakalan tenang pikiran kita. Ada akses yang ikut warnet, tapi biaya setupnya mahal tambah pasang tower bejibun lagi.
Ahhhhhh….mana ada internet murah di Indonesia? Kok sepertinya hanya bayangan saja. Saya iri ketika guru SMA saya ada yang studi banding 3 bulan ke Australia. Pulang – pulang cerita tentang koneksi internet broadband super cepat disana yang sudah masuk setiap rumah dengan cost yang sangat murah, kata beliau, sangat puas memakai internet disana, jauh diatas top rated warnet di Indonesia.
Tapi, harapan kembali muncul ketika sebuah operator GSM Indonesia menawarkan akses internet dengan GPRS unlimited perbulan dengan harga 250 ribu perbulan. Kalau dihitung – hitung, sebenarnya harga segini (di Indonesia) cukup murah, karena selain speednya yang lumayan (lumayan cepet apa lumayan seret?!?!) akses GPRS jenis ini bersifat mobile (bisa dipindah kemana saja asal ada sinyal), dan murah setup (hanya perlu HP berGPRS dan kabel data). Bagi anda yang tiap hari OL, sepertinya layak dipertimbangkan juga akses internet lewat GPRS ini. Kalau ingin tahu siapa saja yang menyediakan akses internet murah ini, googling aja dengan keyword "akses internet gprs unlimited" di kotak Google Search di bawah.
Tapi walau menulis posting ini, saya tetap memakai warnet sebagai sandaran saya ngenet tiap minggu. Hehehe..

Kamis, Agustus 09, 2007

I Love My Hometown: Solo The Spirit of Java

Rasanya nikmat sekali ketika berkendara mengelilingi Solo, melihat – lihat denyut kehidupan di kota, Karangasem, Jajar, Manahan, Coyudan, Klewer, Alun – alun, Keraton, City Walk, Gladag, Mangkunegaran, Batik, Hik, Jawa, Balapan, Tirtodani, dan semuanya yang ada di Solo. Saya merasakan benar – benar Spirit of Life dan Spirit of Java benar – benar di Solo, bukan kota lain.
Saya benar – benar menikmati ketika berjalan – jalan menyusuri PKL di Purwosari, Sunday Market, belanja apapun dengan harga murah, wis, pokoke mak nyuss!
Benar saja ada slogan Solo The Spirit of Java, karena nuansa Jawa kental terasa dan sangat kuat mengakar di kota ini. Namun, jika boleh, saya juga punya slogan baru untuk Solo, yaitu Solo The Spirit of Life Karena semangat untuk hidup disini sangat bagus dan berkobar!

Bajakan vs Asli

Pembajakan software dan karya musik adalah masalah klasik yang sekarang masih terus diperdebatkan seiring berkembangnya dan mudahnya membajak suatu karya. Bagi pihak yang memiliki karya tersebut, memang hal tersebut sangat merugikan, karena pembajak telah mencuri loyalty yang seharusnya diterima oleh pemegang hak cipta. Di lain sisi, pembajak juga mengkalim bahwa mereka berbuat sedemikian rupa karena tidak ada pilihan pekerjaan lain, mereka terpaksa melakukannya demi kelangsungan hidup mereka.
Di sisi pengguna, kita sepertinya juga dikalang kabutkan dengan pernyataan – pernyataan yang membingungkan orang awam. Pihak anti pembajak selalu mengatakan bahwa selain melanggar hak cipta, barang bajakan juga dinilai memiliki kualitas yang rendah dibandingkan barang yang “tidak dibajak”. Tapi apakah hal tersebut sepenuhnya benar?
Sebagai seorang yang sering berkutat dengan teknologi (komputer khususnya), sebenarnya antara bajakan atau tidak, secara kualitas (dalam hal ini yang saya maksudkan adalah CD musik dan software) hampir tidak ada perbedaan sama sekali. Bagi orang yang awam, mereka akan tersugesti bahwa barang bajakan adalah barang yang tak berkualitas. Tapi, saya melihat bahwa bagai metode copy dan paste di komputer, file yang dibajak ternyata sama persis, tak ada satu bagian pun yang berbeda dari aslinya. Jika anda yang berpegang teguh membela barang asli, pertanyaan selanjutnya muncul, bagaimana dengan kualitas CD? Ya, pasti kualitas CD sangat mempengaruhi. Tapi, seberapa jauh sih perbedaan antara kualitas CD bajakan dengan yang asli?
Kemudian ketika membicarakan harga, memang tidak bisa dipungkiri bahwa CD bajakan sangat merugikan pemegang hak cipta dan negara. Harga yang terpaut sangat jauh mengakibatkan gaps, dan banyak masyarakat yang memilih barang bajakan. Tapi dengan angkan persentase sharing barang bajakan yang digembar – gemborkan jauh melebihi barang asli bisa membuat pemegang hak cipta mendadak “tidak kaya” lagi? Apa dengan membeli barang asli yang semahal itu serta merta akan memperkaya negara kita? Saya rasa tidak.
Diperlukan suatu solusi win – win untuk mengatasi masalah ini. Antara pihak pemegang hak cipta, negara, dan tentunya penjual serta pembeli. Saya selalu berpikir, mengapa pemerintah tidak “melegalkan” saja barang bajakan tersebut, dengan catatan, harga barang bajakan tersebut dinaikkan, tapi tidak semahal barang asli yang sekarang dijual. Hal itu juga dibarengi dengan pemberdayaan dan penyuluhan terhadap para pembajak, agar nantinya juga bisa bermanfaat bagi semua pihak. Sebagai contoh, sebuah CD asli dijual dengan harga 40.000 rupiah, berbanding jauh dengan sebuah CD bajakan yang hanya dijual 5000 rupiah. Sekarang, coba kita bina mereka, kita naikkan harganya, dan kita beri mereka barang bagus, dan sekarang kita jual dengan 20.000 rupiah. Walaupun terlihat mudah dan juga tidak banyak memberi keuntungan, tapi secara psikologis, penurunan harga “barang – barang legal” dapat mempengaruhi konsumen yang dulunya membeli bajakan akan mulai banyak yang beralih ke barang legal tersebut.
Lebih baik sedikit lebih mahal tapi legal daripara murah sekali tapi ilegal.

Mahasiswa, anarki?

Sering kita lihat di televisi, sekarang banyak yang namanya demonstrasi, baik yang dilakukan oleh kelompok tertentu, atau yang mengatas namakan mahasiswa. Mahasiswa, sebagai kaum muda yang terpelajar, diharapkan mampu memberi contoh yang baik dan santun kepada masyarakat (karena mereka terpelajar). Mereka adalah tulang punggung Negara ini di masa yang akan datang.
Namun sekarang, seiring berkumandangnya atas nama rakyat, demokrasi, atau kebebasan, mahasiswa melakukan protes dengan cara – cara yang “tidak biasa”. Mereka yang seharusnya dapat menyampaikan pendapatnya melalui cara yang santun dan terpelajar, sekarang banyak yang sudah menyimpang. Tidak sedikit kita lihat bentrokan – bentrokan, tindakan anarki yang dilakukan mereka ketika mereka melakukan demonstrasi. Saya sendiri juga tidak tahu pasti, apakah yang menyebabkan ke-anarkian itu benar – benar mahasiswa, atau orang yang menyusup, dan mengaku sebagai mahasiswa.
Dimulai dari contoh kecil, ketika mereka melempari suatu instansi dengan telur busuk, memblokir jalan sehingga merugikan kepentingan umum, menyandera “mobil – mobil” tangki tak bersalah dan tidak tahu menahu, sampai mengebrak – gebrak berusaha menjebol pagar gedung DPRD, atau kantor pemerintah.
Apakah ini yang mereka namakan dengan atas nama rakyat? Tentu saja saya yakin, bahwa rakyat tidak serta merta menginginkan cara mereka yang “kasar” dan tidak terpelajar. Mengapa mereka tidak bermusyawarah, berdiskusi secara baik – baik, sehingga semua pendapat dan argumen mereka bisa didengar secara jelas?
Pasti seandainya anda adalah mahasiswa yang sering melakukan demonstrasi mengatakan, “bagaimana aspirasi kita bisa didengar khalayak ramai, kalau diskusi di dalam ruangan?” atau “bagaimana mereka bisa mendengar aspirasi kita, wong dalam cara baik – baik saja mereka tidak menggubris kita?” ya saya tahu, itu manusiawi, tapi apa memang tidak ada cara yang lebih baik?